Saya kerap menghabiskan waktu bersama Saleh Abdullah dengan memancing di kolam kecil di halaman belakang kantor. Di kolam yang kami bangun 4 tahun silam itu, hidup berbagai jenis ikan; bawal, tawes, nila, gurameh, cethul, patin, gabus dan lele. Kemarin sore, seekor koi menyambar umpan di ujung kail saya.
"Itu ikan pertama yang ditebar dikolam ini," kata Saleh. Ia menyebut ikan itu Sang Pembuka Jalan. Tentu, ia tak bermaksud memparodikan Tirtoadisuryo yang diceritakan dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula. Ikan itu dimasukkan ke kolam untuk menguji apakah air sudah cukup sehat karena sebagian dindingnya terbuat dari semen, yang sering membuat air beracun bagi ikan. Dengan alasan itu, Saleh meminta saya melepaskan ikan koi itu kembali ke kolam.
Dua haiku terlampir lahir dari hubungan antara saya dan ikan koi itu. Haiku pertama saya tulis semalam dan sudah saya unggah lebih dulu di blog ini dan grup Damselflys's Lament di Facebook. Di bawah posting di grup itu, pada ruang komentar, Saleh menulis; "Pagi ini, di salah satu sudut kolam, koi itu mengambang: mati...."
Sore ini, saya menengok kolam tempat kami memancing kemarin. Benar juga, ikan koi itu --satu-satunya di kolam kami-- mengambang mati. Lalu lahir haiku kedua;
1/
sunny pond
the only koi moves
into my shadow
terik di kolam
satu-satunya koi
menuju bayanganku
2/
by the pond
his writing about the koi
an obit of three lines
di tepi kolam
catatannya untuk si koi
obituari tiga baris
Setelah ini, saya tidak tahu bagaimana mendapatkan ide menulis haiku dari seekor ikan koi.
A father to three children, loves cooking and rock music. He writes haiku and other related forms for healing. You can reach him at wahyu.basjir@gmail.com. No email spamming, please.
sebuah sharing yang amat berharga! betapa haiku sangat nyata dan dekat dengan kehidupan.
ReplyDeleteTerimakasih untuk kunjungan dan komentarnya, Mas Hari. Saya hanya ingin menulis tentang sesuatu yang saya alami dan saya indera.
ReplyDelete