Saya kerap menghabiskan waktu bersama Saleh Abdullah dengan memancing di kolam kecil di halaman belakang kantor. Di kolam yang kami bangun 4 tahun silam itu, hidup berbagai jenis ikan; bawal, tawes, nila, gurameh, cethul, patin, gabus dan lele. Kemarin sore, seekor koi menyambar umpan di ujung kail saya. "Itu ikan pertama yang ditebar dikolam ini," kata Saleh. Ia menyebut ikan itu Sang Pembuka Jalan. Tentu, ia tak bermaksud memparodikan Tirtoadisuryo yang diceritakan dalam novel Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula. Ikan itu dimasukkan ke kolam untuk menguji apakah air sudah cukup sehat karena sebagian dindingnya terbuat dari semen, yang sering membuat air beracun bagi ikan. Dengan alasan itu, Saleh meminta saya melepaskan ikan koi itu kembali ke kolam. Dua haiku terlampir lahir dari hubungan antara saya dan ikan koi itu. Haiku pertama saya tulis semalam dan sudah saya unggah lebih dulu di blog ini dan grup Damselflys's Lament di Facebook. Di bawah posting di grup itu, pada ruang komentar, Saleh menulis; "Pagi ini, di salah satu sudut kolam, koi itu mengambang: mati...." Sore ini, saya menengok kolam tempat kami memancing kemarin. Benar juga, ikan koi itu --satu-satunya di kolam kami-- mengambang mati. Lalu lahir haiku kedua; 1/ sunny pond the only koi moves into my shadow terik di kolam satu-satunya koi menuju bayanganku 2/ by the pond his writing about the koi an obit of three lines di tepi kolam catatannya untuk si koi obituari tiga baris Setelah ini, saya tidak tahu bagaimana mendapatkan ide menulis haiku dari seekor ikan koi. |
Thursday, August 11, 2011
Obituary for the koi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
sebuah sharing yang amat berharga! betapa haiku sangat nyata dan dekat dengan kehidupan.
ReplyDeleteTerimakasih untuk kunjungan dan komentarnya, Mas Hari. Saya hanya ingin menulis tentang sesuatu yang saya alami dan saya indera.
ReplyDelete